Dalam Doa Yang Tak Bernama
Langit senja menyatukan semburat jingga ke halaman pesantren. Di antara bayang pepohonan yang berayun pelan, seorang lelaki muda duduk di serambi masjid dengan kitab di pangkuannya. Namanya Syakur-santri yang dikenal tenang, penuh sopan santun, dan tekun ibadah.
Tak jauh dari tempat duduk, seorang gadis melintas. Langkahnya pelan, jilbab lebarnya mengepak tertiup angin. Khasna, putri dari pengasuh pesantren. Ia lembut, cerdas, dan selalu menundukan pandangan. Syakur tak pernah menyapanya. Tapi hatinya sering bergemuruh tiap kali nama itu disebut. Setiap malam Syakur menunduk lama dalam sujud. Diantara dzikir dan air mata, ia selalu menyebut satu nama: Khasna. Bukan dalam harap untuk memiliki, tapi dalam do'a agar rasa itu tetap suci.
Khasna-putri pengasuh pesantren terlalu jauh untuk didekati, terlalu mulia untuk dipuja dengan nafsu. Ia hanya diam, santun, dan menjaga dirinya. Dan Syakur tau, mencintainya berarti menjaga pandangan, bukan mencuri kesempatan. Banyak yang coba melamar Khasna, tapi semua ditolak. Tapi Syakur nggak pernah ikut di dalam antrean itu. Ia memilih jalan sunyi:memperbaiki diri dan terus berdo'a. Hingga suatu malam kiai memanggilnya "Khasna sudah memilih, dan ia memilih yang tak pernah mendekatinya-tapi selalu mendoakan nya. Dan itu kau, Syakur".
Syakur terdiam diri, sujudnya selama ini tak sia sia. Cinta yang tak bisa di gapai dengan nafsu, akhirnya Allah berikan lewat do'a. Ternyata benar, cinta yang disucikan oleh do'a tak akan tertukar oleh nafsu. Ia akan datang, mungkin tidak cepat, mungkin juga tidak seperti yang kita bayangkan. tapi pasti dengan cara yang lebih indah dan berkah.